Pengalaman Pribadi tentang Teori Vygotsky
Ketika
saya kecil sekitar usia 4 tahun, ibu
saya sering membelikan saya puzzle dengan berbagai jenis. Pertama, ibu
memberikan saya puzzle dengan tingkat kesulitan yang rendah yaitu gambar sebuah
apel. Ibu hanya menunjukkan saya gambar apel utuh, saya memperhatikan gambar
tersebut dan mulai menyusun puzzle sesuai dengan gambar yang saya lihat. Satu
persatu saya mengambil bagian puzzle dan mulai menyusun bagian-bagian tersebut.
Sebelumnya,
Ibu saya menunjukkan gambar apel utuh, kemudian setelah saya mulai menyusun,
ibu hanya mengajukan pertanyaan seperti “Bagian atas apel yang mana nak ?”.
“Tangkai Mak”, jawab saya. Secara tidak langsung pertanyaan ibu memandu saya
untuk menyusun puzzle dari bagian tangkai, dan itu mempermudah saya menyusun
puzzle tersebut. Saya berhasil menyusun puzzle pertama saya tanpa bantuan ibu.
Keesokan
harinya ibu memberikan saya puzzle dengan tingkat kesulitan yang lebih tinggi
daripada puzzle yang sebelumnya saya susun. Cara yang ibu lakukan sama seperti
yang sebelumnya, ibu menunjukkan gambar rumah, memberikan saya pertanyaan yang
mamandu saya menyusun puzzle.
Saya
mampu menyusun puzzle dengan berbagai bentuk karena saya telah terbiasa
menyusun puzzle-puzzle tersebut.
Contoh di atas merupakan pengalaman saya sendiri.
Sekarang saya sadar bahwa cara yang dilakukan ibu saya ketika memandu saya
menyusun puzzle merupakan contoh teori
Vigotsky “Zone of Proximal Development”.
Zone of Proximal
Development merupakan istilah Vigotsky untuk serangkaian tugas yang terlalu
sulit dikuasai anak secara sendirian tetapi dapat dipelajari denagn bantuan
orang dewasa atau anak yang lebih mampu. Orang yang mamandu biasanya
menunjukkan, mengajukan pertanyaan, dan memperkenalkan elemen awal dari solusi.
Tindakan ibu menujukkan gambar dan memberikan pertanyaan
adalah cara yang dilakukan untuk memandu dan mempermudah saya untuk menyusun puzzle. Pertanyaan yang diajukan
membantu saya untuk mengenal elemen awal dari solusi yang akan saya hadapi.
Ketika
saya duduk di kelas 3 SD, setiap minggu kami belajar Muatan Lokal. Dalam
pelajaran ini ibu guru kami akan
mengajari kami tentang kesenian. Biasanya kami disuruh membawa buku gambar,
pensil warna, penggaris dan perlengkapan menggambar yang lainnya.
Minggu
berikutnya kreativitas kami akan diasah. Kami
disuruh membawa alat-alat sesuai kreativitas apa yang akan kami buat
nantinya. Ada yang membuat asbak rokok dari sabun batang, membuat bunga dari
kertas warna, menggambar di atas kertas
karton dan kreativitas lainnya.
Pada
saat itu saya membuat bunga dari kertas warna. Sebelum berangkat sekolah saya
telah menyediakan kertas warna, kawat yang berfungsi sebagai tangkai, lem, dan
kaleng susu yang akan saya pergunakan sebagai pot bunga. Ketika pelajaran
dimulai, semua muri memulai mengeluarkan peralatan keativitas mereka.
Ibu
guru akan datang untuk mengajari kami satu persatu apabila kami tidak menerti
sama sekali. Karena itu adalah pertama kali bagi saya membuat bunga, ibu guru
banyak memberikan instruksi kepada saya. Mulai dari memotong kertas, merangkai
kertas-kertas menjadi setangkai bunga, dan melekatkan bunga pada tangkainya.
Namun setelah saya sudah mulai mahir membuatnya, ibu guru hanya memberikan
sedikit instruksi.
Satu-persatu
ibu guru memberi instruksi kepada murid. Karena ini merupakan hal baru yang
kami pelajari. Namun ada juga beberapa murid yang telah mahir membuat
kreativitas mereka tanpa diberi intruksi oleh ibu guru. Dengan senang hati
mereka juga membantu teman-teman apabila ada teman yang mengalami kesulitan.
Setelah
beberapa kali membuat kreativitas yang sama, kami semakin mahir dan tidak
memerlukan instruksi dari ibu guru kami lagi.
Contoh di atas
merupakan contoh teori Vigotsky
“Scaffolding”.
Scaffolding
merupakan teori Vygotsky berupa teknik untuk mengubah level bantuan belajar.
Bantuan biasanya dilakukan guru atau teman. Guru yang sebelumnya memberi instruksi
langsung lama-kelamaan tidak memberikan instruksi lagi, karena para murid telah
mengerti membuat kreativitas sendiri.saat kemampuan meningkat maka semakin
sedikit bimbingan yang diberikan.
Menurut Vygotsky anak punya konsep yang kaya
tetapi tidak sistematis, tidak teratur dan spontan. Ini ditunjukkan setelah
menerima instruksi dari guru dan teman, para murid sudah memiliki kecakapan
untuk membuat kreativitas sendiri, dan tidak meminta instruksi lagi. Instruksi yang berupa dialog antara anak dengan
penolongnya yang lebih ahli akan
mengubah konsep anak menjadi lebih sistematis, logis dan rasional. Dialog
berupa bahasa, menurut Vygotsky bahasa bukan hanya untuk komunikasi sosial,
tetapi juga untuk merencanakan, memonitor perilaku mereka dengan cara mereka
sendiri (Inner Speech).